HUKUMAN mati selalu menjadi perdebatan menarik setiap kali terpidana mati dieksekusi. Eksekusi mati bagi Sumiarsih dan anaknya Sugeng, pelaku pembunuhan Letkol Purwanto dan keluarganya pada tahun 1988, bagi Usep alias Muhamad Tubagus Yusuf Maulana (40), dukun pembunuh delapan warga Tangerang, serta pelaku tunggal pembunuhan sadis dengan menggunakan martil, Rio Alex Bullo (30), sudah dilaksanakan. Dan yang lagi hangat-nagatnya adalah masalah eksekusi bagi Imam Samudra cs pelaku pemboman Bali 1 yang juga dijatuhi hukuman yang serupa. Mengenai hukuman mati, banyak kalangan yang setuju, namun tidak sedikit yang menolak.
Masih layakkah hukuman mati tetap dicantumkan dalam perundangundangan kita? Manusiawikah pidana mati tetap diterapkan di Indonesia? Dan bagaimana pandangan agama Islam) mengenai hal ini?
Kalangan organisasi non-pemerintah atau Komnas HAM meminta semua peraturan yang memuat hukuman mati tidak diberlakukan. Mereka menilai hukuman mati sudah kehilangan sukma konstitusi dan bertentangan dengan pasal 28 I butir 1 UUD 1945 (Amandemen Kedua) yang menegaskan bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ini berarti seluruh produk hukum yang masih mencantumkan hukuman mati sebagai ancaman pidana harus ditiadakan.
Di lain pihak banyak yang setuju atas penerapan hukuman mati. Sepanjang pidana mati masih dicantumkan dalam KUHP dan undangundang lainnya, maka pelaksanaan hukuman tersebut harus dilakukan dan tidak dapat dihindari. Menurut KUHP, di Indonesia ada sembilan macam kejahatan yang diancam pidana mati. 1. Makar dengan maksud membunuh presiden dan wapres pasal 104); 2. Melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang (pasal 111 ayat 2); 3. Pengkhiatan memberitahukan kepada musuh di waktu perang (pasal 124 ayat 3); 4. Menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara (pasal 124); 5. Pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat (pasal 140 ayat 3); 6. Pembunuhan berencana (pasal 340); 7. Pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau mati (pasal 365 ayat 4); 8. Pembajakan di laut mengakibatkan kematian (pasal 444); 9. Kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan (pasal 149 K ayat 2 dan pasal 149 O ayat 2).
Di luar KUHP, masih ada ancaman pidana mati dalam berbagai undangundang dan satu perpu, yaitu; 1. Tindak pidana ekonomi (UU No. 7/Drt/1995); 2. Tindak pidana Narkotika dan Psikotropika (UU No. 22 Tahun 1997 dan UU No. 5 Tahun 1997); 3. Tindak pidana korupsi (UU No. 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001); 4. Tindak pidana terhadap Hak Asasi Manusia (UU No. 26 Tahun 2000); dan 5. Tindak pidana terorisme (Perpu No. 1 Tahun 2002).
Sepanjang masih banyak pasalpasal KUHP dan undang-undang yang mengancam pelakunya dengan pidana mati, maka perdebatan tentang hukuman mati (death penalty) akan terus berlangsung. Apalagi jika pelaksanaan eksekusinya tidak segera dilakukan, maka si terpidana secara psikologis akan "mati" lebih dulu sebelum eksekusi dilakukan.
Bagaimana ke depan
Eksistensi pidana mati dalam sistem hukum pidana Indonesia tampaknya sulit untuk dihapuskan. Hal ini setidaknya dapat dibaca dari masih tetap dicantumkannya pidana mati sebagai salah satu bentuk pemidanaan dalam rancangan KUHP Indonesia.
Sebagai masyarakat yang mayoritas berpenduduk muslim, dimana pandangan dan nilai-nilai hukum Islam melekat dalam kultur masyarakat, pidana mati secara umum dapat diterima sebagai bagian criminal policy atau kebijakan penanggulangan kejahatan
Akan tetapi rumusan kebijakan semacam ini harus tetap dikontrol secara baik dan menyeluruh. Caranya dengan melakukan usaha-usaha perbaikan mulai dari hulu sampai hilir. Dari hulu, setiap vonis pidana mati harus dilakukan secara selektif dan transparan. unsur selektif dan transparan harus bisa diukur oleh masyarakat. Agar bisa diukur, setiap vonis pidana mati yang dijatuhkan oleh hakim kepada terpidana harus disertai dengan pertimbangan-pertimbangan lain diluar pertimbangan “klise“ seperti diatas. Misalnya dengan mencantumkan pertimbangan kriminologi, psikologi, sosial dan lain-lain.
Tujuannya agar hal-hal yang menjadi target dari proses penjatuhan pidana yang terkandung dalam setiap vonis hakim bisa dibaca dan dimaknai secara baik oleh masyarakat. Pun masyarakat bisa melihat paradigma berpikir hakim dalam mempertimbangkan orientasi tujuan pemidanaan, mulai yang tersederhana yaitu teori pembalasan (retributive theory) atau teori absolut, kemudian teori utilitarian atau teori relatif sampai dengan teori gabungan. Teori ‘detterent’ khususnya teori pencegahan umum (general detterent) untuk menimbulkan rasa takut terhadap pidana mati dalam rangka pencegahan kejahatan.
Di hilir, Untuk dapat mencapai tujuan diterapkannya pidana mati maka sebaiknya pelaksanaan pidana mati dilaksanakan secara cepat dan terukur. Rentang waktu yang sangat lama, antara vonis hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan waktu pelaksanaan pidana mati oleh aparat yang berwenang, yang sering terjadi di Indonesia, bisa menyebabkan tujuan pidana dan pemidanaan menjadi sulit untuk dicapai. Dan hal ini bisa menimbulkan double jeopardy (penderitaan ganda).
Islam dan hukuman mati
Di dalam Alquran surat al-Mulk ayat 2 diingatkan bahwa hidup dan mati ada di tangan Tuhan. Karena itu, Islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia sejak ia masih berada dalam kandungan ibu sampai sepanjang hidupnya. Islam sangat memuliakan keturunan anak Adam. Dan untuk melindungi keselamatan hidup manusia, Islam menetapkan berbagai norma hukum perdata dan pidana beserta sanksi-sanksinya, baik di dunia seperti hukuman had, diyat (denda) dan termasuk hukuman mati (qisas), maupun hukuman di akhirat kelak.
Pada dasarnya hukum-hukum Islam datang untuk menjadi rahmat bagi manusia, bahkan bagi segenap alam. Hukum-hukum tersebut dibuat untuk menjaga keseimbangan kehidupan manusia agar tercipta harmoni dan ketertiban. Maka tidak akan terwujud rahmat itu terkecuali jika hukum Islam benar-benar dapat diterapkan demi kemaslahatan dan kebahagian manusia. Sanksi agama seberat apa pun pada dasarnya juga demi kemaslahatan kehidupan manusia pada umumnya, bukan untuk segelintir kelompok manusia.
Ada tiga tujuan pokok diterapkannya hukum Islam. Pertama, tujuan primer (al-dharury), yakni tujuan hukum yang mesti ada demi adanya kehidupan manusia. Apabila tujuan ini tidak tercapai akan menimbulkan ketidakajegan kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akherat. Kebutuhan hidup yang primer ini hanya bisa dicapai bila terpeliharanya lima tujuan hukum Islam yang disebut al-dharuriyyat al-khams atau al-kulliyyat alkhams (disebut pula maqasid al-syari "ah), yaitu lima tujuan utama hukum Islam yang telah disepakati bukan hanya oleh ulama Islam melainkan juga oleh keseluruhan agamawan. Kelima tujuan utama itu adalah: 1. Memelihara agama; 2. Memelihara jiwa; 3. Memelihara akal; 4. Memelihara keturunan dan atau kehormatan, dan 5. Memelihara harta.
Kedua, tujuan sekunder (al-haajiy), yakni terpeliharanya tujuan kehidupan manusia yang terdiri atas berbagai kebutuhan sekunder. Jika tidak terpenuhi akan menimbulkan kesukaran bagi manusia, namun tidak sampai menimbulkan kerusakan. Ketiga, tujuan tertier (al-tahsiniyyat), yakni tujuan hukum yang ditujukan untuk menyempurnakan hidup manusia dengan cara melaksanakan apa yang baik dan yang paling layak menurut kebiasan dan menghindari hal-hal yang tercela menurut akal sehat.
Dalam hukum Islam, sanksi pidana yang dapat menyebabkan kematian pelakunya terjadi pada dua kasus. Pertama, pelaku zina yang sudah kawin (muhson), sanksinya dirajam, yakni dilempari batu sampai mati. Menurut Ibn Mundzir, seorang yang pernah menikah dan melakukan zina dengan wanita lain maka sanksi hukumnya jilid kemudian dirajam (dicambuk kemudian dilempari batu). Hukuman tersebut dikenakan pada laki-laki dan perempuan (Kifayah:368). Karena Islam sangat menghargai kehormatan diri dan keturunan, maka sanski hukum yang sangat keras ini dapat diterima akal sehat. Bukankah secara naluriah manusia akan berbuat apa saja demi menjaga dan melindungi harga diri dan keturunannya. Hukuman rajam ini jika diterapkan, sangat kecil kemungkinannya nyawa terpidana dapat diselamatkan.
Kedua, pelaku pembunuhan berencana (disengaja) (QS. Al-Nisa": 93). Orang yang membunuh orang Islam (tanpa hak) harus diqisas (dibunuh juga). Jika ahli-ahli waris (yang terbunuh) memaafkannya, maka pelaku tidak diqisas (tidak dihukum bunuh) tetapi harus membayar diyat (denda) yang besar, yaitu seharga 100 ekor unta tunai yang dibayarkan pada waktu itu juga.
Tidakkah hukuman qisas atau rajam sangat tidak manusiawi dan melanggar HAM? Pertanyaan seperti ini sudah sering kita dengar ratusan tahun yang lalu. Tetapi, melanggar HAM atau tidak seharusnya tidak hanya dilihat dari satu segi saja, tetapi berbagai segi. Jika kita hanya melihat hukuman mati dari sudut terhukum, maka yang muncul adalah hukuman qisas atau rajam tidak manusiawi dan melanggar HAM.
Bagaimana jika dilihat dari sisi lainnya, misalnya dari korban pembunuhan atau efek kerusakan yang lebih besar jika perzinahan tumbuh subur. Bagaimana dengan anak, istri dan orang tua korban pembunuhan, bukankah mereka juga manusia dan memiliki HAM juga.
Setiap agama sangat menghargai nyawa manusia dan kita semua menyadari adanya hak asasi manusia. HAM tidak hanya dimiliki oleh terpidana mati, tetapi anak, isteri, orang tua korban dan orang-orang yang tidak berdosapun memiliki HAM. Pidana mati ibaratnya menghilang HAM satu orang untuk melindungi HAM sekian ribu orang. Oleh karenanya pidana mati masih perlu dipertahankan dalam undang-undang kita demi melindungi HAM itu sendiri.
Dirigkas dari berbagai sumber:
http://www.wawasandigital.com
http://library.usu.ac.id
http://yuhendrablog.wordpress.com
http://www.wawasandigital.com
http://nurjihad.staff.uii.ac.id
Masih layakkah hukuman mati tetap dicantumkan dalam perundangundangan kita? Manusiawikah pidana mati tetap diterapkan di Indonesia? Dan bagaimana pandangan agama Islam) mengenai hal ini?
Kalangan organisasi non-pemerintah atau Komnas HAM meminta semua peraturan yang memuat hukuman mati tidak diberlakukan. Mereka menilai hukuman mati sudah kehilangan sukma konstitusi dan bertentangan dengan pasal 28 I butir 1 UUD 1945 (Amandemen Kedua) yang menegaskan bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ini berarti seluruh produk hukum yang masih mencantumkan hukuman mati sebagai ancaman pidana harus ditiadakan.
Di lain pihak banyak yang setuju atas penerapan hukuman mati. Sepanjang pidana mati masih dicantumkan dalam KUHP dan undangundang lainnya, maka pelaksanaan hukuman tersebut harus dilakukan dan tidak dapat dihindari. Menurut KUHP, di Indonesia ada sembilan macam kejahatan yang diancam pidana mati. 1. Makar dengan maksud membunuh presiden dan wapres pasal 104); 2. Melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang (pasal 111 ayat 2); 3. Pengkhiatan memberitahukan kepada musuh di waktu perang (pasal 124 ayat 3); 4. Menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara (pasal 124); 5. Pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat (pasal 140 ayat 3); 6. Pembunuhan berencana (pasal 340); 7. Pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau mati (pasal 365 ayat 4); 8. Pembajakan di laut mengakibatkan kematian (pasal 444); 9. Kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan (pasal 149 K ayat 2 dan pasal 149 O ayat 2).
Di luar KUHP, masih ada ancaman pidana mati dalam berbagai undangundang dan satu perpu, yaitu; 1. Tindak pidana ekonomi (UU No. 7/Drt/1995); 2. Tindak pidana Narkotika dan Psikotropika (UU No. 22 Tahun 1997 dan UU No. 5 Tahun 1997); 3. Tindak pidana korupsi (UU No. 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001); 4. Tindak pidana terhadap Hak Asasi Manusia (UU No. 26 Tahun 2000); dan 5. Tindak pidana terorisme (Perpu No. 1 Tahun 2002).
Sepanjang masih banyak pasalpasal KUHP dan undang-undang yang mengancam pelakunya dengan pidana mati, maka perdebatan tentang hukuman mati (death penalty) akan terus berlangsung. Apalagi jika pelaksanaan eksekusinya tidak segera dilakukan, maka si terpidana secara psikologis akan "mati" lebih dulu sebelum eksekusi dilakukan.
Bagaimana ke depan
Eksistensi pidana mati dalam sistem hukum pidana Indonesia tampaknya sulit untuk dihapuskan. Hal ini setidaknya dapat dibaca dari masih tetap dicantumkannya pidana mati sebagai salah satu bentuk pemidanaan dalam rancangan KUHP Indonesia.
Sebagai masyarakat yang mayoritas berpenduduk muslim, dimana pandangan dan nilai-nilai hukum Islam melekat dalam kultur masyarakat, pidana mati secara umum dapat diterima sebagai bagian criminal policy atau kebijakan penanggulangan kejahatan
Akan tetapi rumusan kebijakan semacam ini harus tetap dikontrol secara baik dan menyeluruh. Caranya dengan melakukan usaha-usaha perbaikan mulai dari hulu sampai hilir. Dari hulu, setiap vonis pidana mati harus dilakukan secara selektif dan transparan. unsur selektif dan transparan harus bisa diukur oleh masyarakat. Agar bisa diukur, setiap vonis pidana mati yang dijatuhkan oleh hakim kepada terpidana harus disertai dengan pertimbangan-pertimbangan lain diluar pertimbangan “klise“ seperti diatas. Misalnya dengan mencantumkan pertimbangan kriminologi, psikologi, sosial dan lain-lain.
Tujuannya agar hal-hal yang menjadi target dari proses penjatuhan pidana yang terkandung dalam setiap vonis hakim bisa dibaca dan dimaknai secara baik oleh masyarakat. Pun masyarakat bisa melihat paradigma berpikir hakim dalam mempertimbangkan orientasi tujuan pemidanaan, mulai yang tersederhana yaitu teori pembalasan (retributive theory) atau teori absolut, kemudian teori utilitarian atau teori relatif sampai dengan teori gabungan. Teori ‘detterent’ khususnya teori pencegahan umum (general detterent) untuk menimbulkan rasa takut terhadap pidana mati dalam rangka pencegahan kejahatan.
Di hilir, Untuk dapat mencapai tujuan diterapkannya pidana mati maka sebaiknya pelaksanaan pidana mati dilaksanakan secara cepat dan terukur. Rentang waktu yang sangat lama, antara vonis hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan waktu pelaksanaan pidana mati oleh aparat yang berwenang, yang sering terjadi di Indonesia, bisa menyebabkan tujuan pidana dan pemidanaan menjadi sulit untuk dicapai. Dan hal ini bisa menimbulkan double jeopardy (penderitaan ganda).
Islam dan hukuman mati
Di dalam Alquran surat al-Mulk ayat 2 diingatkan bahwa hidup dan mati ada di tangan Tuhan. Karena itu, Islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia sejak ia masih berada dalam kandungan ibu sampai sepanjang hidupnya. Islam sangat memuliakan keturunan anak Adam. Dan untuk melindungi keselamatan hidup manusia, Islam menetapkan berbagai norma hukum perdata dan pidana beserta sanksi-sanksinya, baik di dunia seperti hukuman had, diyat (denda) dan termasuk hukuman mati (qisas), maupun hukuman di akhirat kelak.
Pada dasarnya hukum-hukum Islam datang untuk menjadi rahmat bagi manusia, bahkan bagi segenap alam. Hukum-hukum tersebut dibuat untuk menjaga keseimbangan kehidupan manusia agar tercipta harmoni dan ketertiban. Maka tidak akan terwujud rahmat itu terkecuali jika hukum Islam benar-benar dapat diterapkan demi kemaslahatan dan kebahagian manusia. Sanksi agama seberat apa pun pada dasarnya juga demi kemaslahatan kehidupan manusia pada umumnya, bukan untuk segelintir kelompok manusia.
Ada tiga tujuan pokok diterapkannya hukum Islam. Pertama, tujuan primer (al-dharury), yakni tujuan hukum yang mesti ada demi adanya kehidupan manusia. Apabila tujuan ini tidak tercapai akan menimbulkan ketidakajegan kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akherat. Kebutuhan hidup yang primer ini hanya bisa dicapai bila terpeliharanya lima tujuan hukum Islam yang disebut al-dharuriyyat al-khams atau al-kulliyyat alkhams (disebut pula maqasid al-syari "ah), yaitu lima tujuan utama hukum Islam yang telah disepakati bukan hanya oleh ulama Islam melainkan juga oleh keseluruhan agamawan. Kelima tujuan utama itu adalah: 1. Memelihara agama; 2. Memelihara jiwa; 3. Memelihara akal; 4. Memelihara keturunan dan atau kehormatan, dan 5. Memelihara harta.
Kedua, tujuan sekunder (al-haajiy), yakni terpeliharanya tujuan kehidupan manusia yang terdiri atas berbagai kebutuhan sekunder. Jika tidak terpenuhi akan menimbulkan kesukaran bagi manusia, namun tidak sampai menimbulkan kerusakan. Ketiga, tujuan tertier (al-tahsiniyyat), yakni tujuan hukum yang ditujukan untuk menyempurnakan hidup manusia dengan cara melaksanakan apa yang baik dan yang paling layak menurut kebiasan dan menghindari hal-hal yang tercela menurut akal sehat.
Dalam hukum Islam, sanksi pidana yang dapat menyebabkan kematian pelakunya terjadi pada dua kasus. Pertama, pelaku zina yang sudah kawin (muhson), sanksinya dirajam, yakni dilempari batu sampai mati. Menurut Ibn Mundzir, seorang yang pernah menikah dan melakukan zina dengan wanita lain maka sanksi hukumnya jilid kemudian dirajam (dicambuk kemudian dilempari batu). Hukuman tersebut dikenakan pada laki-laki dan perempuan (Kifayah:368). Karena Islam sangat menghargai kehormatan diri dan keturunan, maka sanski hukum yang sangat keras ini dapat diterima akal sehat. Bukankah secara naluriah manusia akan berbuat apa saja demi menjaga dan melindungi harga diri dan keturunannya. Hukuman rajam ini jika diterapkan, sangat kecil kemungkinannya nyawa terpidana dapat diselamatkan.
Kedua, pelaku pembunuhan berencana (disengaja) (QS. Al-Nisa": 93). Orang yang membunuh orang Islam (tanpa hak) harus diqisas (dibunuh juga). Jika ahli-ahli waris (yang terbunuh) memaafkannya, maka pelaku tidak diqisas (tidak dihukum bunuh) tetapi harus membayar diyat (denda) yang besar, yaitu seharga 100 ekor unta tunai yang dibayarkan pada waktu itu juga.
Tidakkah hukuman qisas atau rajam sangat tidak manusiawi dan melanggar HAM? Pertanyaan seperti ini sudah sering kita dengar ratusan tahun yang lalu. Tetapi, melanggar HAM atau tidak seharusnya tidak hanya dilihat dari satu segi saja, tetapi berbagai segi. Jika kita hanya melihat hukuman mati dari sudut terhukum, maka yang muncul adalah hukuman qisas atau rajam tidak manusiawi dan melanggar HAM.
Bagaimana jika dilihat dari sisi lainnya, misalnya dari korban pembunuhan atau efek kerusakan yang lebih besar jika perzinahan tumbuh subur. Bagaimana dengan anak, istri dan orang tua korban pembunuhan, bukankah mereka juga manusia dan memiliki HAM juga.
Setiap agama sangat menghargai nyawa manusia dan kita semua menyadari adanya hak asasi manusia. HAM tidak hanya dimiliki oleh terpidana mati, tetapi anak, isteri, orang tua korban dan orang-orang yang tidak berdosapun memiliki HAM. Pidana mati ibaratnya menghilang HAM satu orang untuk melindungi HAM sekian ribu orang. Oleh karenanya pidana mati masih perlu dipertahankan dalam undang-undang kita demi melindungi HAM itu sendiri.
Dirigkas dari berbagai sumber:
http://www.wawasandigital.com
http://library.usu.ac.id
http://yuhendrablog.wordpress.com
http://www.wawasandigital.com
http://nurjihad.staff.uii.ac.id