Landasan Profetik Pendidikan Islam

Islam sebagai agama menempatkan ilmu pengetahuan pada status yang istimewa. Allah Swt akan meningkatkan derajat mereka yang beriman dan berilmu (Q.s. 58:11). Secara historis Islam telah mampu menciptakan manusia berperadaban yang bercirikan humanis-teologis dan humanis-intelektual, dalam waktu kurang dari seperempat abad. Hal demikian bisa terjadi karena disemangati wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad saw, berupa perintah membaca, ‘Iqra’ (Q.s. [96]: 1-5).

Iqra bisa berarti membaca atau mengkaji dalam arti yang luas. Dalam surat yang sama, pada ayat berikutnya ditegaskan bahwa dengan pena (al-qalam) Allah mengajar manusia mengenai bagaimana dan apa yang belum diketahuinya. Ayat ini menunjukkan arti penting membaca sebagai aktivitas intelektual; dan menulis yang dilambangkan dengan al-qalam sebagai proses belajar mengajar dalam arti luas.

Kata al-qalam adalah simbol transformasi ilmu pengetahuan, nilai dan keterampilan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kata ini merupakan simbol abadi sejak manusia mengenal baca-tulis hingga dewasa ini. Proses transfer budaya dan peradaban tidak akan terjadi tanpa peran penting tradisi tulis–menulis yang dilambangkan dengan al-qalam.

Pendidikan Islam, menurut Majid Irsan al Kailani (1985: 38-66) — guru besar Umm al-Qura University, Mekkah— adalah seperti yang telah diungkapkan dalam surat al-Baqarah: 129 & 151; Ali Imran: 164; dan al-Jumu‘ah: 62. Ayat-ayat tersebut menetapkan 4 sasaran pokok pendidikan Islam: 1) Tilawah, yang menunjukkan aspek akidah. Pemeliharaan aspek akidah ini dapat mengantarkan manusia pada sikap dan tujuan hidup yang jelas dan dijauhkan dari pandangan tahayul dan khurafat yang tidak produktif dan irasional. 2) Tazkiyah, yaitu pembersihan dan pengendalian perilaku dengan mengarahkan pada pola hidup positip-produktif (meliputi ruhiah, aqliah, dan jismiyah) yang harus mengimbas pada pendidikan. 3) Ta‘lim, yakni mengajarkan dan membekali ilmu pengetahuan yang Islami melalui studi kritis terhadap pesan-pesan yang terkandung dalam al-Qur’an. 4) Hikmah, semakna dengan al-‘ibrah (teladan), al-itqan (teliti), dan al-hulul al-mulaimah (solusi yang tepat).

Konsep Pendidikan Islam
Proses pendidikan didesain dapat mengantarkan peserta didik mempunyai sikap akhlakul karimah, mampu membedakan yang benar dan salah, serta punya keterampilan memilah dan memilih sesuatu yang bermanfaat atau sebaliknya, merugikan. Rakhmat (1991:117-119) menguraikan bahwa tugas Nabi Muhammad saw dalam hal pendidikan dapat dilihat dari ayat-ayat (Q.s. [7]: 157; [3]: 164; [2]: 129; [62]: 2).

Ayat pertama menjelaskan tentang amar makruf nahi munkar (tazkiyah), halal-haram (ta‘lim), meringankan beban penderitaan dan melepaskan umat dari belenggu (ishlah). Dari ayat kedua ada tilawah (membacakan ayat-ayat Allah), tazkiyah (menyucikan diri mereka), dan ta‘lim (mengajarkan kitab dan hikmah). Keseluruhan konsep tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Pendidikan dalam Islam berusaha menumbuhkembangkan potensi peserta didik agar dalam sikap hidup, tindakan dan pendekatannya terhadap ilmu pengetahuan diwarnai oleh nilai etik religius. Manusia yang diciptakan oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi (Q.s. [2]: 31) dituntut perannya untuk dapat mengemban misi rahmatan lil‘alamin, yaitu terciptanya sebuah kehidupan damai di bumi dirahmati di langit, yaitu kehidupan yang religius, adil, makmur, harmoni di antara penduduk bumi. Bila pendidikan diartikan sebagai upaya untuk mengubah orang dengan pengetahuan tentang sikap dan perilakunya dengan kerangka nilai profetik, maka akan diupayakan proses pendidikan sebagai berikut.

Pertama, menjadikan Rasulullah sebagai patron model pendidik (Q.s. [33]: 21, [68]: 4). Dalam hal ini, Nabi Muhammad saw bersabda, “Sesungguhnya aku diutus sebagai pendidik.” (HR Ibnu Majah); dan “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kebaikan akhlak.” (HR. Bukhari, Hakim, dan Baihaqi).

Kedua, pendidikan dalam Islam diarahkan untuk menumbuhkembangkan iman dan ilmu (Q.s. [58]: 11), sehingga melahirkan amal saleh (Q.s. [67]: 2).

Ketiga, pendidikan dalam Islam berparadigma transendensi dan objektifikasi sekaligus, yaitu sebuah upaya pendidikan yang mengantarkan kepada penumbuhan kearifan, kasih sayang, dan egalitarian sebagai hasil duplikasi sifat-sifat Tuhannya. Hal ini sekaligus juga, mempunyai kepedulian ilmiah dan tangggungjawab untuk memakmurkan bumi dalam rangka memenuhi dan mengatasi misi hidup kemanusiaan.

Keempat, pendidikan Islam pada prosesnya didesain untuk membentuk peserta didik menjadi hamba yang mampu mengaktualisasikan diri mencapai derajat takwa, hingga mampu meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. (Q.s. [2]: 201; [28]: 77).

Keseimbangan dan Keutuhan
Tuhan memperkenalkan diri-Nya sebagai Rab’. Kata ini berasal dari raba–yarbu-tarbiyah, yang mengandung makna: education (pendidikan), upbringing (asuhan), teaching (pengajaran), instruction (perintah), breeding (pemeliharaan), raising (peningkatan), creating (menciptakan), belonging (memiliki), commanding (menguasai), guarding (memberi petunjuk), growing (menumbuhkan) dan innovating (mengembangkan). Seluruh pengertian tersebut apabila dicermati lebih lanjut, maka secara etimologis kata Rab lebih menunjukan kepada istilah proses pendidikan.

Kongres dunia II pada tahun 1980 tentang konsep dan kurikulum pendidikan Islam merumuskan bahwa pendidikan Islam adalah sebagai usaha untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan pribadi manusia secara menyeluruh: akal pikiran, kecerdasan, perasaan dan panca indera. Oleh karena itu, pendidikan Islam harus mengembangkan seluruh aspek kehidupan manusia: spiritual dan intelektual; individu dan kelompok; dan mendorong seluruh aspek tersebut ke arah pencapaian kesempurnaan hidup. (Fazlur Rahman, 1985:16).
Pendidikan dalam Islam memegang peran sentral karena memproses manusia untuk memiliki equilibrium antara dar al-akhirah dengan dar al-dunya; keseimbangan religius-spirit dengan profan-materi. Secara edukasi Nabi Muhammad saw mengajak pengikutnya untuk meninggalkan kegelapan spiritual, mental dan intelektual. Gerakan pendidikan yang diusung Nabi mempunyai mainstream liberasi yang kuat. Hal ini, dapat dilihat dari doa Nabi yang diajarkan kepada para pengikutnya: “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari rasa sedih, mental malas, sifat penakut, watak kikir, terlilit hutang dan penindasan orang/rezim”. (HR. Muslim).

Nabi Muhammad saw adalah guru yang sempurna, pada dirinya ada teladan yang utama (Q.s. [68]: 40; [33]: 21). Di masjid para sahabat mengerumuni Nabi untuk mendengar kuliah dan petuahnya. Dengan bahasa yang mudah dipahami Nabi menjelaskan segala teori kehidupan. Nabi memerintahkan kepada muridnya yang hadir untuk menyampaikan materi yang telah diterima kepada yang tidak hadir meskipun hanya satu ayat, ballighu ‘anni walau ayatan. Betapa tinggi tradisi belajar-mengajar di masa awal Islam, hingga Ali ra berkata; “Ana abdun man allamani harfan” (Saya adalah hamba sahaya seseorang yang mengajarkanku satu huruf ilmu).
Pendidikan dalam Islam bercirikan keutuhan, bahwa semua ilmu pengetahuan secara ontologi bersumber dari zat yang serba maha tahu, yaitu Allah al-‘Alim Rabbul al- ‘Alamin. Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam setidaknya mengandung dua hal: 1) Mengantarkan kesempurnaan manusia yang berujung pada taqarrub ilallah; dan 2) mengantarkan manusia untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. (Sulaiman, 1964:16).

Sedangkan dari sisi fungsi, pendidikan Islam setidaknya meliputi tiga hal berikut ini: 1) Menumbuhkembangkan (kapasitas fisik dan psikis) peserta didik ketingkat yang normatif lebih baik; 2) Melestarikan ajaran Islam yang meliputi bidang ibadah, muamalah, munakahah, dan jinayah; 3) Melestarikan kebudayaan dan peradaban.

Dalam pendidikan Islam tidak dikenal sistem pendidikan dikhotomi, karena akan menimbulkan dampak sebagai berikut: 1) Munculnya ambivalensi orientasi pendidikan Islam; 2) Kesenjangan antara sistem pendidikan Islam dan ajaran Islam yang memisahkan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum (Kuntowijoyo, 1991: 352); 3) Disintregasi sistem pendidikan Islam; 4) Inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam, karena barometer kualitas pendidikan tidak lepas dari ukuran kemajuan sistem pendidikan Barat sebagai tolak ukurnya.

Ziaudin Sardar (1986:75) mengajukan solusi untuk mengatasi dualisme sistem pendidikan Islam, yaitu: 1) Mengembangkan epistemologi keilmuan agar lebih fungsional untuk merespons problematika kehidupan kekinian; 2) Mengembangkan kerangka teori dan sain-teknologi yang bercirikan Islam; dan 3) Mengembangkan teori sistem pendidikan integralistik yang mengacu pada konsep dan khasanah ajaran Islam.